Rabu, 05 Maret 2014


TUGAS
HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL




DANANG JATMIKA
12220021

UNIVERSITAS JANABADRA
FAKULTAS EKONOMI AKUNTANSI
TAHUN AJARAN 2013

ABSTRAK

HKI adalah hak yang timbul sebagai akibat dari manusia karya tindakan kreatif menghasilkan inovatif yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia. Sebagai hak eksklusif, perlindungan hak kekayaan intelektual pada mulanya merupakan bentuk perlindungan yang diberikan oleh Negara bagian ide atau hasil karya warga negaranya, dank arena itu hak atas kekayaan intelektual adalah kenegaraan fundamental teritorial. Pengakuan Hak Kekayaan Intelektual perlindungan di sebuah Negara tidak berarti perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di Negara lain. Pelaksanaan ketentuan mengenai Hak Kekayaan Intelektual telah dilaksankan tetapi belum maksimal hal ini disebabkan karena persepsi masyarakat yang beragam di satu sisi banyak yang menganggap HKI belum diperlukan karena akan membatasi seseorang berbuat baik kepada sesame manusia, tetapi ada juga orang yang sudah mulai menyadari pentingnya HKI sehingga berusaha melindungi HKI dalam hal ini adalah Hak cipta dan Merek Dagang Hak. Namum dalam pelaksanaan HKI ada juga kendala yang menyertai system pemasaran yang belum baik, seiring mengubah-ubah bahwa motif serta modal terbatas dan sumber daya manusia.

PENDAHULUAN

Globalisasi ekonomi tidak pelak lagi telah masuk dalam kehidupan nasional Indonesia. Hal ini akan menimbulkan kolonialisasi ekonomi dengan konsentrasi pada kekuatan korporasi internasional, oleh karena itu hukum diharapkan mampu mengakomondasi untuk memperkuat perekonomian nasional untuk mengakses pasar internasional. Akhir ini sedang berlangsung terjadinya perubahan yang sangat cepat, sebagai akibat kemajuan IPTEK. Manusia sudah tidak lagi perlu menyelesaikan sesuatu pekerjaan secara manual, melainkan sudah memanfaatkan teknologi cangih yang serba otomatis. Jarak maupun waktu sudah tidak lagi suatu masalah baik itu jauh maupun lama. Oleh karena itu, ini menandakan perubahan baru dari era industry menuju era baru yaitu era informasi. Globalisasi pada awalnya bermula pada perubahan dan perkembangan di bidang ekonomi untuk mewujudkan tata ekonomi antar bangsa yanr adil dan sejahtera untuk sebagian besar masyarakat dunia. Globalisasi mengandung makna yang dalam dan terjadi segala aspek kehidupan sperti ekonomi, politik, social budaya,IPTEK, dan sebgainya. Dalam dunia bisnis misalnya, globalisasi, tidak hanya sekedar berdagang di seluruh dunia dengan cara baru, yang menjaga keseimbangan antar kualitas global hasil produksi dengan kebutuhan khas yang bersifat local dari konsumen. Cara baru ini dipengaruhi oleh saling ketergantungan antar bangsa yang semakin meningkat, berlakunya standar-standar dan kualitas baku internasional, meningkatkan peran swasta dalam bentuk korporasi internasional, melemahnya ikatan-ikatan nasional dibidang ekonomi, peranan informasi sebagai kekuatan meningkat.
Ekspansi perdagangan dunia dan dilakukannya rasionalisasi tariff tercakup dalam GATT. GATT sebenarnya merupakan kontrak kerja antar partner dagang untuk tidak memperlakukan  secara deskriminatif, proketsionis atas dasas “ law of the jungle “ dalam perdagangan dunia. Salah satu hasil perundingan GATT adalah TRIPs yang bertujuan :
1.      Meningkatkan perlindungan terhadap HAKI dari produk-produk yang diperdagangkan.
2.      Menjamin prosedur pelaksanaan HAKI yang tidak menghambat kegiatan perdagangan.
3.      Merumuskan aturan serta disiplin mengenai pelaksanaan perlindungan terhadap HaKI.
4.      Mengembangkan prinsip aturan dan mekanisme kerjasama internasional untuk menangani perdagangan barang-barang hasil pemalsuan atau pembajakan HaKI.
Globalisasi menimbulkan dampak bagi NKRI secara khususnya dan bagi Negara berkembang pada umumnya. Pembangunan yang dilaksanakan mau tidak mau harus memperhitugkan aspek-aspek global tersebut. Dalam hal ini termasuk pengembangan hukum, instrumen-instrumen hukum internasional dan pandangan-pandangan yang bersifat global perlu memperoleh tempat dalam pemikiran hukum nasional. Proses globalisasi menimbulkan tolak ukur hubungan antara bangsa yaitu perihal economi oriented yakni keuntungan atau hasil nyata apa yang dapat diperloeh dari adanya hubungan tersebut. Pengaruh luar dapat sekali masuk Indonesia sebagai implikasi terciptanya sistem ekonomi yang terbuka. Salah satu aspek dalam ekonomi adalah pada produk yang pemasarannya tidak lagi terbatas pada skala nasional tetapi juga internasional. Hal ini berakibat pada kompetisi standar kualitas dan persaingan yang fair, serta terhindar produk palsu, berdasarkan pada kesepakatan dunia internasional. Dalam keletihan mengatasi deraan krisis ekonomi, HaKI kembali di gugat perannya dalam proses pemulihanya dan pemerdayaan ekonomi rakyat, Sejauh ini, HKI memang mempunyai insentif strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi meski juga berkarakter monopoli yang mengundang resistensi globalisasi saat ini telah menciptakan aspek dalam bentuk formatin terdependensi. Demikian pula rezim HaKI yang sarat dengan tatanan regulasi. Dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan, HaKI telah sedemikian terkait dengan artikulasi pasar global. Pasar bebas yang mestinya steril dari berbagai intervensi, nyatanya memiliki kalkulasi sendiri. Ia terbukti tidak sepi dari kepentingan politik. Sanksi ekonomi, dan embargo adalah sebagian contoh hukuman bagi tindakan pencederaan terhadap HaKI. Dalam memasuki pasar internasional, maka perlindungan dibidang HaKI tidak bias ditawar lagi, sebab perlindungan HaKI ini sebenarnya bagaikan keping mata uang yang memiliki dua sisi. Sisi pertama sebagai penopang pertumbuhan ekonomi nasional, sedangkan sisi yang lain akan memberikan kepercayaan internasional, khususnya kepercayaan para investor terhadap iklim di Indonesia yang mampu melindungi HaKI. Sebab jika “ law enforcement “ dibidang HaKI tidak mendapat prioritas tentunya barang berkualitas akan enggan masuk dalam pasar nasional.

PEMBAHASAN
Peranan HaKI di Indonesia

Betapapun HaKI adalah konsep hukum yang netral. Namun, sebagai pranata, HaKI juga memiliki misi. Diantaranya, menjamin perlindungan terhadap kepentingan moral dan ekonomi pemiliknya. Bagi Indonesia, pengembangan system HaKI telah diarahkan untuk  menjadi pagar, penuntun dan sekaligus rambu bagi aktivitas industry dan lalu lintas perdagangan. Dalam skala ekonomi makro, HaKI dirancang untuk member energy dan motivasi kepada masyarakat untuk lebih mampu menggerakan seluruh potensi ekonomi yang dimiliki. HaKI berkaitan dengan produk. Suatu produk pada hakikatnya merupakan karya seni atau sastra atau karya tulisan termasuk karya ilmiah yang pada dasarnya merupakan karya intelektual yang dilindungi hak cipta (bagian dari HaKI), dan diperdagangkan secara global, pada gilirannya akan memerlukan pula perlindungan hukum yang efektif dari segala tindak pelanggaran. Demikian pula pada halnya dengan produk industry atau manufaktur lainnya. Keterlibatan pilihan teknologi baik yang dipatenkan maupun yang berupa rahasia dagang, yang berlangsung sejak tahap perencanaan berlanjut hingga tahap pembuatannya, ataupun pengguna merek pada saat produk bersangkutan di pasarkan, menunjukkan keterlibatan HaKI sejak awal hingga akhir produksi. Dapat dikatakan HaKI telah hadir sejak awal produksi hingga saat pemasaran. Karenanya, memang tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa globalisasi produk pada akhirnya juga berarti globalisasi HaKI.
Pada proses selanjutnya seiring dengan meningkatnya kreatifitas masyarakat dan dipengaruhi oleh ekonomi pasar dari Adam Smith, muncul konsep hak atas kepemilikkan atas karya intelektual. Konsep ini kemudian di undang-undangkan. Penjaminan atas hasil karya intelektual ini dimaksudkan untukmerangsang pertumbuhan kreatifitas, menjamin kepemilikan suatu hasi kreatifitas serta menjadikan hasil kreatifitas intelektual memiliki nilai pasar dalam artian ekonomis tersendiri. Problem yang timbul dari tatanan ini adalah, pelaksanaan UU paten dan copyright telah membuka jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin atau antara Negara kaya dengan Negara miskin serta kecenderungan muncul perilaku monopoli oleh sekelompok orang atau kelompok tertentu.
Di bidang merek, HaKI tegas menolak monopoli pemilikan dan penggunaan merek yang miskin reputasi. Merek serupa itu bebas di gunakan dan didaftarkan orang lain sepanjang untuk komoditas dagang yang tidak sejenis. HaKI hanya memberi otoritas monopoli yang lebih ketat pada merek yang sudah menjadi tanda dagang yang terkenal. Di luar itu, masyarakat bebas menggunakan sepanjang sesuai dengan aturan. Yang pasti, permintaan pendaftaraan merek di tolak bila didasari iktikad tidak baik. Memasuki tahun 2000 HaKI telah bergulir secara resmi dalam koridor globalisasi, artinya pengakuan hukum disatu Negara secara konseptual tidak berbeda dari yang ada di Negara lain. Begitu juga dengan ruang lingkup HaKI mengalami perkembangan, HaKI tidak hanya lagi mengurusi hak atas cipta, paten dan merek tapi sekarang telah meliputi hak atas desain industry, tata letak sirkuit terpadu dan rahasia dagang. Hal ini sejalan dengan penataan HaKI dalam wadah World Trade Organization (WTO), yang di dalamnya juga terlampir Agreement ontrade Related of Intelectual Property (TRIPs). Kenyataan ini yang nantinya mendorong untuk perlu melakukan ratifikasi terhadap perundang-udangan HAKI (UU hak cipta, UU paten dan merek) di Indonesia. Sejalan dengan itu, Pemerintah Indonesia terus mengambil langkah guna meningkatkan perlindungan hukum, dan pembinaan di bidang HKI. Sejak tahun 2000 Pemerintah Indonesia telah menerbitkan dan merevisi peraturan hukum di bidang HKI untuk disesuaikan dengan kesepakatan TRIPs, antara lain : UU No. 29 th 2000 tentang perlindungan varietas tanaman (PVT), UU No. 30 th 2000 tentang rahasia dagang, UU No. 31 tentang desain industri, UU No. 32 tentang desain tata letak sirkuit terpadu (DTLST), UU No. 14 th 2001 tentang paten, UU No. 15 th 2001 tentang merek, UU No. 19 th 2002 tentang hak cipta.
Melihat perkembangan system perundang-undangan HaKI di Indonesia, A.Zen menjelaskan bahwa undang-undang HaKI merujuk pada peran HaKI sebagai pendukung kegiatan untuk menghasilkan karya-karya intelektual. Hal ini dapat terlihat nyata pada implementasi UU No. 6 th 1989 tentang hak paten, UU No. 13 th 1997 yang memberi perlindungan hukum yang semakin efektif terhadap perkembangan kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi atau UU No. 19 th 1992 dalam kaitannya dengan merek. Sebagai sebuah perundang-undangan, UU HaKI mengatur tentang ruang lingkup karya intelektual ( hak dan kewajiban ), tata cara mendapatkan HaKI termasuk pendaftaraan HaKI secara internasional, jangka waktu perlindungan serta prosedur pemeriksaan. Terobosan baru yang juga dilakukan adalah tersedianya paten sederhana bagi hasil karya kreatif yang tidak berteknologi tinggi. Untuk paten sederhana ini persyaratannya lebih ringan dan jangka waktu perlindungannya juga tidak lama. Hal ini dikarenakan masih lemahnya pemahaman HaKI, sejalan dengan bukti bahwa masyarakat kita masih belum menghargai HaKI, contohnya adalah persoalan peniruan merek. Sesungguhnya memang kurang fair menuntut masyarakat memahami sendiri aturan HaKI tanpa bimbingan yang memadai. Sebagai konsep hukum baru yang padat dengan teori lintas ilmu, HaKI memiliki kendala klasik untuk dapat dimengerti dan dipahami. Selain sistem edukasi yang kurang terakomodasi di jenjang perguruan tinggi, HaKI hanya menjadi wacana yang sangat terbatas karena kurangnya sosialisasi.    

HAKI sebagai suatu sistem perlindunagan ide bagi dunia usaha

Philipus M. Hadjon menyebutkan bahwa pada dasarnya perlindugan hukum meliputi dua hal. Yakni perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif meliputi tindakan yang menuju kepada upaya pencegahan terjadinya sengketa sedangkan perlindungan represif maksudnya perlindungan yang arahnya lebih kepada upaya untuk menyelesaikan sengketa, seperti contoh adalah penyelesaian sengketa di pengadilan. HaKI sebagai satu sistem perlindungan hukum juga mempunyai kedua jenis perlindungan sebagaimana yang diungkapkan oleh Hadjon. HaKI mengenal adanya sistem pendaftaran yang cenderung kepada perlindungan hukum secara preventif dan sistem pidana untuk perlindungan secara represif, mengingat memang pidana pada dasarnya adalah satu tindakan terakhir untuk menegakkan hukum. HaKI memberikan pencipta dua hak eksklusif yaitu hak moral dan hak ekonomi; hak moral adalah hak yang mlindungi kepentingan pribadi sang pencipta sehingga memberikan pencipta hak untuk tetap disebut pencipta karya tersebut. Sedangkan hak ekonomi adalah hak untuk memperoleh keuntungan ekonomi atas kekayaan intelektual. Kasus yang sering terjadi adalah harga produk HKI cederung sangat mahal. Hal ini dikarenakan terkadang pencipta tidak hanya mengambil hak ekonominya akan tetap melipat gandakan apa yang menjadi haknya. Padahal bisa saja untuk menjadikan barang tersebut murah pencipta atau penemu melepas hak ekonominya tersebut sehingga bisa jadi harga dari produk HaKI menjadi lebih terjangkau. Akan tetapi melepaskan hak ekonomi dikalangan pencipta atau penemu tampaknya masih jarang. Dunia usaha saat pada masa globalisasi sekarang ini menghadapi banyak tantangan seiring cepatnya perubahan-perubahan dalam teknologi dan banyaknya kreasi atau ide yang tercipta dari tenaga kerja yang kreatif. Hal ini menimbulkan pertanyaan akan pentingnya HaKI dalam tiap-tiap industri.

HAKI dalam Industri Perangkat Lunak   

Disini terdapat perbedaan antara hak paten dengan copyright dalam konteks industri perangkat lunak. Hak paten terletak pada algoritma, sedangkan penerapan dari algoritma adalah copyright. Oleh karena itu algoritma dapat dipetenkan sedangkan penerapan dari algoritma (copyright) tidak bisa. Sebagai contoh pengembangan pada microsoft, microsoft tidak dapat disebut copyright tapi berhak atas paten. Kerumitan menetapkan suatu hasil karya pada industri perangkat lunak ini berhak memiliki copyright atau tidak sejalan dengan cepat dan panjangnya proses pengembangan pada industri perangkat lunak itu sendiri. Akibatnya copyright sering dipertentangkan dan ketika memasuki proses hukum kembali terganjal kepada prose situ kembali. Oleh karena itu perlindungan hukum dalam industri perangkat lunak yang dinaungi oleh UU No. 19 th 2002 tenang hak cipta (copyright) dan UU No. 14 th 2001 tentang paten masih tumpang tindih. Hal ini dikarenakan, algoritma sebuah perangkat lunak yang menjadi mesin dari sebuah perangkat lunak masih dapat dibajak dan dibuat kembali dengn mudah tanpa dilacak (reverse engineering). Untuk menjalankan perkembngan industry perangkat lunak di Indonesia masih terfokus pada proses aplikasi atau integrasi. Pengembangan itu sendiri masih banyak mengabaikan HaKI. Persoalanya disini adalah UU HaKI masih banyak berpihak dan menguntungkan orang lain.

HAKI dalam Industri Farmasi

Industri farmasi di Indonesia pada era globallisasi terdiri dari sebagian besar merupkan industri manufaktur farmasi yang berorientasi pada formula obat jadi dan untik kebutuhan tersebut masih tergantung pada bahan baku impor. Lemahnya industri pengembangan farmasi di Indonesia disebabkan oleh tingginya biaya untuk melakukan penelitian. Adapun peluang untuk bersaing dengan pihak luar yng memang padat modal adalah pada pengembangan obat tradisional yang bahan bakunya tersedia di Indonesia. Dilihat dari sisi perspektif perlindungan hukum HAKI tampaknya masih berjalan kurang baik dikarenakan situasi industri farmasi di Indonesia saja masih menggantungkan obat-obatan dari luar negeri. Lebih jauh lagi tampaknya, perlindungan HAKI terhadap obat-obatan luar negeri masih lemah dengan banyaknya obat-obatan palsu yang beredar di masyarakat. Contoh kasusnya adalah tempe yang secara tradisional adalah produk asli Indonesia, namun paten tempe telah dilakukan di Jepang (masuki Tokuda, Kyoso Hiroya, Nishi dan Inoue) untuk kepentingan obat dan komestik.

HAKI dalam Industri Musik

Keberadaan HAKI dengan segala perangkat perundang-undangannya merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu dalam industri musik dan berharap perlu didukung oleh semua pihak. Akan tetapi, perlindungan hukum terhadap hasil karya pemusik masih lemah. Masyarakat lebih bangga membeli kaset bajakan dibandingkan yang original, dan memang harganya lebih murah. Perdagangan kaset bajakan belakangan ini justru semakin banyak dan terang-terangan. Aparat keamanan serta perangkat penegak hukum lainnya terlihat masih lamban dalam mengatasi kasus-kasus pembajakan. Kebanyakan kasus diantaranya hanya diberi hukuman percobaan. Padahal menurut UU setiap pembajakan akan diberi hukuman 7 bulan penjara serta denda 100 juta. Tidak jauh berbeda dengan kedua elemen di atas para pencipta lagupun banyak yang tidak paham dan mengerti dengan hak yang dimilikinya. Contohnya di Jepang royalty atas karya Gesang dari tahun 1950-1974 saja sudah terkumpul sebanyak 500 US Dollar, tapi itu tidak bisa diambil karena Gesang tidak tercatat sebagai anggota asosiasi tersebut. Contoh konkrit lain adalah royalty lagu lilin-lilin kecil yang menjadi lagu abadi hingga kini sejak dipopulerkan Chrisye pada 1977 yang diciptakan oleh James F. Sondah. Pendapatan royalti yang diperoleh dari lagu tersebut ternyata hanya 35 ribu. Selanjutnya lagu Api Asmara milik Ali Yahya, saat pertama lagu itu dipublikasikan, Yahya hanya disodori secarik surat perjanjian 15 ribu untuk sekali merekam lagu ciptaannya.
Langkah-langkah yang telah dilakukan, khususnya menyangkut hukum HaKI, berkaitan erat dengan pemahaman bahwa perdagang, industri dan investasi tidak bisa dilepas dengan HaKI. Kebutuhan nasional untuk dapat mengakses ke pasar internasional bagi produk yang dihasilkan memilik arti yang sangat penting dan strategis. Hal ini selain berhubungan dengan tuntutan globalisasi, juga kebutuhan nsional untuk memperluas dan memperbesar pendapatan ekspor, terutama di sektor non migas. Masalah yang kita hadapi dalam rangka pembentukan sistem hukum HaKI adalah masalah kesadaran hukum HaKI sebagai perwujudan budaya hukum. Budaya hukum yang ada pada masyarakat kita kurang mendukung, dan inilah yang perlu mendapat perhatian. Dalam masyarakat masih sering beredar barang-barang bermerek palsu, dan ironisnya barang tersebut laku di pasaran yang sebetulnya ini merugikan konsumen dari segi kualitas barang. Disamping itu, juga berkonsekuensi Indonesia di tempatkan sebagai kelompok Negara “priority watch list”. Bagi para pengusaha, khususnya pengusaha kecil dan menengah tidak mendaftarkan merek produk ataupun jasa, karena selain kesadaran ekonomisnya lemah, dan biaya pendaftaran dianggap masih mahal. Di samping merek, produk-produk dari hasil karya seni juga tidak didaftarkan hak ciptanya.

PENUTUP

Ketika menghadapi badai krisis ekonomi, HaKI terbukti dapat menjadi salah satu payung perlindungan bagi para tenaga kerja yang memang benar-benar kreatif dan inovatif. Lebih dari itu, HaKI sesungguhnya dapat diberdayakan untuk mengurangi kadar ketergantungan ekonomi pada luar negeri. Bagi Indonesia, menerima globalisasi dan mengakomodasi konsepsi perlindungan HaKI tidak lantas menihilkan kepentingan nasional. Keberpihakan pada rakyat, tetap menjadi justifikasi dalam prinsip-prinsip pengaturan dan rasionalitas perlindungan berbagai bidang HaKI di tingkat nasional. Namun, semua itu harus tetap berada pada koridor hukum dan norma-norma internasional. Dengan adanya sistem yang demikian menunjukkan bahwasanya HaKI pada dasarnya bukanlah satu sistem monopoli kapitalis, akan tetapi ketika ditelaah lebih jauh sistem HKI adalah satu sistem yang busa saja bernuansa sosial dengan tetap mengusung pada semangat awal munculnya HKI yakni memberikan perlindungan ataside pencipta.


Flowchart