TUGAS
HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
DANANG JATMIKA
12220021
UNIVERSITAS JANABADRA
FAKULTAS EKONOMI AKUNTANSI
TAHUN AJARAN 2013
ABSTRAK
HKI adalah hak
yang timbul sebagai akibat dari manusia karya tindakan kreatif menghasilkan
inovatif yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia. Sebagai hak eksklusif,
perlindungan hak kekayaan intelektual pada mulanya merupakan bentuk
perlindungan yang diberikan oleh Negara bagian ide atau hasil karya warga
negaranya, dank arena itu hak atas kekayaan intelektual adalah kenegaraan
fundamental teritorial. Pengakuan Hak Kekayaan Intelektual perlindungan di
sebuah Negara tidak berarti perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di Negara lain.
Pelaksanaan ketentuan mengenai Hak Kekayaan Intelektual telah dilaksankan
tetapi belum maksimal hal ini disebabkan karena persepsi masyarakat yang
beragam di satu sisi banyak yang menganggap HKI belum diperlukan karena akan membatasi
seseorang berbuat baik kepada sesame manusia, tetapi ada juga orang yang sudah
mulai menyadari pentingnya HKI sehingga berusaha melindungi HKI dalam hal ini
adalah Hak cipta dan Merek Dagang Hak. Namum dalam pelaksanaan HKI ada juga
kendala yang menyertai system pemasaran yang belum baik, seiring mengubah-ubah
bahwa motif serta modal terbatas dan sumber daya manusia.
PENDAHULUAN
Globalisasi
ekonomi tidak pelak lagi telah masuk dalam kehidupan nasional Indonesia. Hal
ini akan menimbulkan kolonialisasi ekonomi dengan konsentrasi pada kekuatan
korporasi internasional, oleh karena itu hukum diharapkan mampu mengakomondasi
untuk memperkuat perekonomian nasional untuk mengakses pasar internasional.
Akhir ini sedang berlangsung terjadinya perubahan yang sangat cepat, sebagai
akibat kemajuan IPTEK. Manusia sudah tidak lagi perlu menyelesaikan sesuatu
pekerjaan secara manual, melainkan sudah memanfaatkan teknologi cangih yang
serba otomatis. Jarak maupun waktu sudah tidak lagi suatu masalah baik itu jauh
maupun lama. Oleh karena itu, ini menandakan perubahan baru dari era industry
menuju era baru yaitu era informasi. Globalisasi pada awalnya bermula pada
perubahan dan perkembangan di bidang ekonomi untuk mewujudkan tata ekonomi antar
bangsa yanr adil dan sejahtera untuk sebagian besar masyarakat dunia.
Globalisasi mengandung makna yang dalam dan terjadi segala aspek kehidupan
sperti ekonomi, politik, social budaya,IPTEK, dan sebgainya. Dalam dunia bisnis
misalnya, globalisasi, tidak hanya sekedar berdagang di seluruh dunia dengan
cara baru, yang menjaga keseimbangan antar kualitas global hasil produksi
dengan kebutuhan khas yang bersifat local dari konsumen. Cara baru ini
dipengaruhi oleh saling ketergantungan antar bangsa yang semakin meningkat,
berlakunya standar-standar dan kualitas baku internasional, meningkatkan peran
swasta dalam bentuk korporasi internasional, melemahnya ikatan-ikatan nasional
dibidang ekonomi, peranan informasi sebagai kekuatan meningkat.
Ekspansi
perdagangan dunia dan dilakukannya rasionalisasi tariff tercakup dalam GATT.
GATT sebenarnya merupakan kontrak kerja antar partner dagang untuk tidak
memperlakukan secara deskriminatif,
proketsionis atas dasas “ law of the jungle “ dalam perdagangan dunia. Salah
satu hasil perundingan GATT adalah TRIPs yang bertujuan :
1. Meningkatkan perlindungan terhadap
HAKI dari produk-produk yang diperdagangkan.
2. Menjamin prosedur pelaksanaan HAKI
yang tidak menghambat kegiatan perdagangan.
3. Merumuskan aturan serta disiplin
mengenai pelaksanaan perlindungan terhadap HaKI.
4. Mengembangkan prinsip aturan dan
mekanisme kerjasama internasional untuk menangani perdagangan barang-barang hasil
pemalsuan atau pembajakan HaKI.
Globalisasi menimbulkan dampak bagi
NKRI secara khususnya dan bagi Negara berkembang pada umumnya. Pembangunan yang
dilaksanakan mau tidak mau harus memperhitugkan aspek-aspek global tersebut.
Dalam hal ini termasuk pengembangan hukum, instrumen-instrumen hukum
internasional dan pandangan-pandangan yang bersifat global perlu memperoleh
tempat dalam pemikiran hukum nasional. Proses globalisasi menimbulkan tolak
ukur hubungan antara bangsa yaitu perihal economi oriented yakni keuntungan
atau hasil nyata apa yang dapat diperloeh dari adanya hubungan tersebut.
Pengaruh luar dapat sekali masuk Indonesia sebagai implikasi terciptanya sistem
ekonomi yang terbuka. Salah satu aspek dalam ekonomi adalah pada produk yang
pemasarannya tidak lagi terbatas pada skala nasional tetapi juga internasional.
Hal ini berakibat pada kompetisi standar kualitas dan persaingan yang fair,
serta terhindar produk palsu, berdasarkan pada kesepakatan dunia internasional.
Dalam keletihan mengatasi deraan krisis ekonomi, HaKI kembali di gugat perannya
dalam proses pemulihanya dan pemerdayaan ekonomi rakyat, Sejauh ini, HKI memang
mempunyai insentif strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi meski juga
berkarakter monopoli yang mengundang resistensi globalisasi saat ini telah
menciptakan aspek dalam bentuk formatin terdependensi. Demikian pula rezim HaKI
yang sarat dengan tatanan regulasi. Dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan, HaKI
telah sedemikian terkait dengan artikulasi pasar global. Pasar bebas yang
mestinya steril dari berbagai intervensi, nyatanya memiliki kalkulasi sendiri.
Ia terbukti tidak sepi dari kepentingan politik. Sanksi ekonomi, dan embargo
adalah sebagian contoh hukuman bagi tindakan pencederaan terhadap HaKI. Dalam
memasuki pasar internasional, maka perlindungan dibidang HaKI tidak bias ditawar
lagi, sebab perlindungan HaKI ini sebenarnya bagaikan keping mata uang yang
memiliki dua sisi. Sisi pertama sebagai penopang pertumbuhan ekonomi nasional,
sedangkan sisi yang lain akan memberikan kepercayaan internasional, khususnya
kepercayaan para investor terhadap iklim di Indonesia yang mampu melindungi HaKI.
Sebab jika “ law enforcement “ dibidang HaKI tidak mendapat prioritas tentunya
barang berkualitas akan enggan masuk dalam pasar nasional.
PEMBAHASAN
Peranan HaKI di Indonesia
Betapapun HaKI
adalah konsep hukum yang netral. Namun, sebagai pranata, HaKI juga memiliki
misi. Diantaranya, menjamin perlindungan terhadap kepentingan moral dan ekonomi
pemiliknya. Bagi Indonesia, pengembangan system HaKI telah diarahkan untuk menjadi pagar, penuntun dan sekaligus rambu
bagi aktivitas industry dan lalu lintas perdagangan. Dalam skala ekonomi makro,
HaKI dirancang untuk member energy dan motivasi kepada masyarakat untuk lebih
mampu menggerakan seluruh potensi ekonomi yang dimiliki. HaKI berkaitan dengan
produk. Suatu produk pada hakikatnya merupakan karya seni atau sastra atau
karya tulisan termasuk karya ilmiah yang pada dasarnya merupakan karya
intelektual yang dilindungi hak cipta (bagian dari HaKI), dan diperdagangkan
secara global, pada gilirannya akan memerlukan pula perlindungan hukum yang
efektif dari segala tindak pelanggaran. Demikian pula pada halnya dengan produk
industry atau manufaktur lainnya. Keterlibatan pilihan teknologi baik yang
dipatenkan maupun yang berupa rahasia dagang, yang berlangsung sejak tahap
perencanaan berlanjut hingga tahap pembuatannya, ataupun pengguna merek pada
saat produk bersangkutan di pasarkan, menunjukkan keterlibatan HaKI sejak awal
hingga akhir produksi. Dapat dikatakan HaKI telah hadir sejak awal produksi
hingga saat pemasaran. Karenanya, memang tidak berlebihan untuk mengatakan
bahwa globalisasi produk pada akhirnya juga berarti globalisasi HaKI.
Pada proses
selanjutnya seiring dengan meningkatnya kreatifitas masyarakat dan dipengaruhi
oleh ekonomi pasar dari Adam Smith, muncul konsep hak atas kepemilikkan atas
karya intelektual. Konsep ini kemudian di undang-undangkan. Penjaminan atas hasil
karya intelektual ini dimaksudkan untukmerangsang pertumbuhan kreatifitas,
menjamin kepemilikan suatu hasi kreatifitas serta menjadikan hasil kreatifitas
intelektual memiliki nilai pasar dalam artian ekonomis tersendiri. Problem yang
timbul dari tatanan ini adalah, pelaksanaan UU paten dan copyright telah
membuka jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin atau antara Negara kaya
dengan Negara miskin serta kecenderungan muncul perilaku monopoli oleh
sekelompok orang atau kelompok tertentu.
Di bidang
merek, HaKI tegas menolak monopoli pemilikan dan penggunaan merek yang miskin
reputasi. Merek serupa itu bebas di gunakan dan didaftarkan orang lain
sepanjang untuk komoditas dagang yang tidak sejenis. HaKI hanya memberi
otoritas monopoli yang lebih ketat pada merek yang sudah menjadi tanda dagang
yang terkenal. Di luar itu, masyarakat bebas menggunakan sepanjang sesuai
dengan aturan. Yang pasti, permintaan pendaftaraan merek di tolak bila didasari
iktikad tidak baik. Memasuki tahun 2000 HaKI telah bergulir secara resmi dalam
koridor globalisasi, artinya pengakuan hukum disatu Negara secara konseptual
tidak berbeda dari yang ada di Negara lain. Begitu juga dengan ruang lingkup HaKI
mengalami perkembangan, HaKI tidak hanya lagi mengurusi hak atas cipta, paten
dan merek tapi sekarang telah meliputi hak atas desain industry, tata letak
sirkuit terpadu dan rahasia dagang. Hal ini sejalan dengan penataan HaKI dalam
wadah World Trade Organization (WTO), yang di dalamnya juga terlampir Agreement
ontrade Related of Intelectual Property (TRIPs). Kenyataan ini yang nantinya
mendorong untuk perlu melakukan ratifikasi terhadap perundang-udangan HAKI (UU
hak cipta, UU paten dan merek) di Indonesia. Sejalan dengan itu, Pemerintah
Indonesia terus mengambil langkah guna meningkatkan perlindungan hukum, dan
pembinaan di bidang HKI. Sejak tahun 2000 Pemerintah Indonesia telah
menerbitkan dan merevisi peraturan hukum di bidang HKI untuk disesuaikan dengan
kesepakatan TRIPs, antara lain : UU No. 29 th 2000 tentang perlindungan
varietas tanaman (PVT), UU No. 30 th 2000 tentang rahasia dagang, UU No. 31
tentang desain industri, UU No. 32 tentang desain tata letak sirkuit terpadu
(DTLST), UU No. 14 th 2001 tentang paten, UU No. 15 th 2001 tentang merek, UU
No. 19 th 2002 tentang hak cipta.
Melihat
perkembangan system perundang-undangan HaKI di Indonesia, A.Zen menjelaskan
bahwa undang-undang HaKI merujuk pada peran HaKI sebagai pendukung kegiatan
untuk menghasilkan karya-karya intelektual. Hal ini dapat terlihat nyata pada
implementasi UU No. 6 th 1989 tentang hak paten, UU No. 13 th 1997 yang memberi
perlindungan hukum yang semakin efektif terhadap perkembangan kegiatan
penelitian dan pengembangan teknologi atau UU No. 19 th 1992 dalam kaitannya
dengan merek. Sebagai sebuah perundang-undangan, UU HaKI mengatur tentang ruang
lingkup karya intelektual ( hak dan kewajiban ), tata cara mendapatkan HaKI
termasuk pendaftaraan HaKI secara internasional, jangka waktu perlindungan
serta prosedur pemeriksaan. Terobosan baru yang juga dilakukan adalah
tersedianya paten sederhana bagi hasil karya kreatif yang tidak berteknologi
tinggi. Untuk paten sederhana ini persyaratannya lebih ringan dan jangka waktu
perlindungannya juga tidak lama. Hal ini dikarenakan masih lemahnya pemahaman
HaKI, sejalan dengan bukti bahwa masyarakat kita masih belum menghargai HaKI,
contohnya adalah persoalan peniruan merek. Sesungguhnya memang kurang fair
menuntut masyarakat memahami sendiri aturan HaKI tanpa bimbingan yang memadai.
Sebagai konsep hukum baru yang padat dengan teori lintas ilmu, HaKI memiliki
kendala klasik untuk dapat dimengerti dan dipahami. Selain sistem edukasi yang
kurang terakomodasi di jenjang perguruan tinggi, HaKI hanya menjadi wacana yang
sangat terbatas karena kurangnya sosialisasi.
HAKI sebagai suatu sistem perlindunagan ide bagi
dunia usaha
Philipus M.
Hadjon menyebutkan bahwa pada dasarnya perlindugan hukum meliputi dua hal.
Yakni perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.
Perlindungan hukum preventif meliputi tindakan yang menuju kepada upaya
pencegahan terjadinya sengketa sedangkan perlindungan represif maksudnya
perlindungan yang arahnya lebih kepada upaya untuk menyelesaikan sengketa,
seperti contoh adalah penyelesaian sengketa di pengadilan. HaKI sebagai satu
sistem perlindungan hukum juga mempunyai kedua jenis perlindungan sebagaimana
yang diungkapkan oleh Hadjon. HaKI mengenal adanya sistem pendaftaran yang
cenderung kepada perlindungan hukum secara preventif dan sistem pidana untuk
perlindungan secara represif, mengingat memang pidana pada dasarnya adalah satu
tindakan terakhir untuk menegakkan hukum. HaKI memberikan pencipta dua hak
eksklusif yaitu hak moral dan hak ekonomi; hak moral adalah hak yang mlindungi
kepentingan pribadi sang pencipta sehingga memberikan pencipta hak untuk tetap
disebut pencipta karya tersebut. Sedangkan hak ekonomi adalah hak untuk
memperoleh keuntungan ekonomi atas kekayaan intelektual. Kasus yang sering
terjadi adalah harga produk HKI cederung sangat mahal. Hal ini dikarenakan
terkadang pencipta tidak hanya mengambil hak ekonominya akan tetap melipat
gandakan apa yang menjadi haknya. Padahal bisa saja untuk menjadikan barang
tersebut murah pencipta atau penemu melepas hak ekonominya tersebut sehingga
bisa jadi harga dari produk HaKI menjadi lebih terjangkau. Akan tetapi
melepaskan hak ekonomi dikalangan pencipta atau penemu tampaknya masih jarang.
Dunia usaha saat pada masa globalisasi sekarang ini menghadapi banyak tantangan
seiring cepatnya perubahan-perubahan dalam teknologi dan banyaknya kreasi atau
ide yang tercipta dari tenaga kerja yang kreatif. Hal ini menimbulkan
pertanyaan akan pentingnya HaKI dalam tiap-tiap industri.
HAKI dalam Industri Perangkat Lunak
Disini
terdapat perbedaan antara hak paten dengan copyright dalam konteks industri
perangkat lunak. Hak paten terletak pada algoritma, sedangkan penerapan dari
algoritma adalah copyright. Oleh karena itu algoritma dapat dipetenkan
sedangkan penerapan dari algoritma (copyright) tidak bisa. Sebagai contoh
pengembangan pada microsoft, microsoft tidak dapat disebut copyright tapi
berhak atas paten. Kerumitan menetapkan suatu hasil karya pada industri
perangkat lunak ini berhak memiliki copyright atau tidak sejalan dengan cepat
dan panjangnya proses pengembangan pada industri perangkat lunak itu sendiri.
Akibatnya copyright sering dipertentangkan dan ketika memasuki proses hukum
kembali terganjal kepada prose situ kembali. Oleh karena itu perlindungan hukum
dalam industri perangkat lunak yang dinaungi oleh UU No. 19 th 2002 tenang hak
cipta (copyright) dan UU No. 14 th 2001 tentang paten masih tumpang tindih. Hal
ini dikarenakan, algoritma sebuah perangkat lunak yang menjadi mesin dari
sebuah perangkat lunak masih dapat dibajak dan dibuat kembali dengn mudah tanpa
dilacak (reverse engineering). Untuk menjalankan perkembngan industry perangkat
lunak di Indonesia masih terfokus pada proses aplikasi atau integrasi.
Pengembangan itu sendiri masih banyak mengabaikan HaKI. Persoalanya disini
adalah UU HaKI masih banyak berpihak dan menguntungkan orang lain.
HAKI dalam Industri Farmasi
Industri
farmasi di Indonesia pada era globallisasi terdiri dari sebagian besar merupkan
industri manufaktur farmasi yang berorientasi pada formula obat jadi dan untik
kebutuhan tersebut masih tergantung pada bahan baku impor. Lemahnya industri
pengembangan farmasi di Indonesia disebabkan oleh tingginya biaya untuk
melakukan penelitian. Adapun peluang untuk bersaing dengan pihak luar yng
memang padat modal adalah pada pengembangan obat tradisional yang bahan bakunya
tersedia di Indonesia. Dilihat dari sisi perspektif perlindungan hukum HAKI
tampaknya masih berjalan kurang baik dikarenakan situasi industri farmasi di
Indonesia saja masih menggantungkan obat-obatan dari luar negeri. Lebih jauh
lagi tampaknya, perlindungan HAKI terhadap obat-obatan luar negeri masih lemah
dengan banyaknya obat-obatan palsu yang beredar di masyarakat. Contoh kasusnya
adalah tempe yang secara tradisional adalah produk asli Indonesia, namun paten
tempe telah dilakukan di Jepang (masuki Tokuda, Kyoso Hiroya, Nishi dan Inoue)
untuk kepentingan obat dan komestik.
HAKI dalam Industri Musik
Keberadaan
HAKI dengan segala perangkat perundang-undangannya merupakan sesuatu yang
ditunggu-tunggu dalam industri musik dan berharap perlu didukung oleh semua
pihak. Akan tetapi, perlindungan hukum terhadap hasil karya pemusik masih
lemah. Masyarakat lebih bangga membeli kaset bajakan dibandingkan yang
original, dan memang harganya lebih murah. Perdagangan kaset bajakan belakangan
ini justru semakin banyak dan terang-terangan. Aparat keamanan serta perangkat
penegak hukum lainnya terlihat masih lamban dalam mengatasi kasus-kasus
pembajakan. Kebanyakan kasus diantaranya hanya diberi hukuman percobaan.
Padahal menurut UU setiap pembajakan akan diberi hukuman 7 bulan penjara serta
denda 100 juta. Tidak jauh berbeda dengan kedua elemen di atas para pencipta
lagupun banyak yang tidak paham dan mengerti dengan hak yang dimilikinya.
Contohnya di Jepang royalty atas karya Gesang dari tahun 1950-1974 saja sudah
terkumpul sebanyak 500 US Dollar, tapi itu tidak bisa diambil karena Gesang
tidak tercatat sebagai anggota asosiasi tersebut. Contoh konkrit lain adalah
royalty lagu lilin-lilin kecil yang menjadi lagu abadi hingga kini sejak
dipopulerkan Chrisye pada 1977 yang diciptakan oleh James F. Sondah. Pendapatan
royalti yang diperoleh dari lagu tersebut ternyata hanya 35 ribu. Selanjutnya
lagu Api Asmara milik Ali Yahya, saat pertama lagu itu dipublikasikan, Yahya
hanya disodori secarik surat perjanjian 15 ribu untuk sekali merekam lagu
ciptaannya.
Langkah-langkah
yang telah dilakukan, khususnya menyangkut hukum HaKI, berkaitan erat dengan
pemahaman bahwa perdagang, industri dan investasi tidak bisa dilepas dengan HaKI.
Kebutuhan nasional untuk dapat mengakses ke pasar internasional bagi produk
yang dihasilkan memilik arti yang sangat penting dan strategis. Hal ini selain
berhubungan dengan tuntutan globalisasi, juga kebutuhan nsional untuk
memperluas dan memperbesar pendapatan ekspor, terutama di sektor non migas.
Masalah yang kita hadapi dalam rangka pembentukan sistem hukum HaKI adalah
masalah kesadaran hukum HaKI sebagai perwujudan budaya hukum. Budaya hukum yang
ada pada masyarakat kita kurang mendukung, dan inilah yang perlu mendapat
perhatian. Dalam masyarakat masih sering beredar barang-barang bermerek palsu,
dan ironisnya barang tersebut laku di pasaran yang sebetulnya ini merugikan
konsumen dari segi kualitas barang. Disamping itu, juga berkonsekuensi
Indonesia di tempatkan sebagai kelompok Negara “priority watch list”. Bagi para
pengusaha, khususnya pengusaha kecil dan menengah tidak mendaftarkan merek produk
ataupun jasa, karena selain kesadaran ekonomisnya lemah, dan biaya pendaftaran
dianggap masih mahal. Di samping merek, produk-produk dari hasil karya seni
juga tidak didaftarkan hak ciptanya.
PENUTUP
Ketika
menghadapi badai krisis ekonomi, HaKI terbukti dapat menjadi salah satu payung
perlindungan bagi para tenaga kerja yang memang benar-benar kreatif dan
inovatif. Lebih dari itu, HaKI sesungguhnya dapat diberdayakan untuk mengurangi
kadar ketergantungan ekonomi pada luar negeri. Bagi Indonesia, menerima globalisasi
dan mengakomodasi konsepsi perlindungan HaKI tidak lantas menihilkan
kepentingan nasional. Keberpihakan pada rakyat, tetap menjadi justifikasi dalam
prinsip-prinsip pengaturan dan rasionalitas perlindungan berbagai bidang HaKI
di tingkat nasional. Namun, semua itu harus tetap berada pada koridor hukum dan
norma-norma internasional. Dengan adanya sistem yang demikian menunjukkan
bahwasanya HaKI pada dasarnya bukanlah satu sistem monopoli kapitalis, akan
tetapi ketika ditelaah lebih jauh sistem HKI adalah satu sistem yang busa saja
bernuansa sosial dengan tetap mengusung pada semangat awal munculnya HKI yakni
memberikan perlindungan ataside pencipta.